Perempuan Penabur
“When I see you smile, I can face the world. You know I can do anything. When I see you smile, I see a ray of light, I see shining right though the rain……” sebait lirik lagu fairhouse sayup-sayup kedengaran dari balik jendela kamar….Terus menghujam ke lubuk batin hingga tarikan sebatang “dunhill” kian dalam sampai ke penghujung tembakau…
Ya seulas senyum…senyuman yang tak pernah lepas dari sepasang bibir yang terus melekat dalam ingatan…tatkala jemari-jemari tangannya lincah memindahkan benang penyatu tenunan dan hentakan terukur atas sebilah kayu “asam” menghujani benang penyatu tenunan..…Terus menerus gerakan berirama ini dijaga agar hasil sungguh memuaskan.
Seorang Perempuan yang tegar….dengan tangan kuat bertahan dari pagi hingga senja datang. Duduk tanpa kata mengejar waktu dan mengalahkan hari. Sedang tangannya yang terlatih terus bergerak dalam irama yang konstan. Hanya inilah keahlian yang tersisa buat menjaga asap dapurnya terus mengepul semenjak sang suami pergi untuk selamanya. Sesekali seulas senyum menghiasi raut wajah kusut Sang Perempuan dengan sedikit garis-garis keriput di bawah bola matanya tanda tak lagi muda.
***********
Senja ini, tepat di depan sebuah bangunan tua…seorang pemuda tanggung dengan tangan kanan menjepit sebatang “dunhill” berdiri menghadap matahari yang nyaris tenggelam di kaki langit. Beberapa kali terlihat dia menarik dalam-dalam “dunhill” dan menyemburkan asap penuh rasa. Ingin sekali ia mengenang Sang Perempuan yang telah lama pergi. Menghilang dengan jazad kini menyatu bersama bumi. Sebisa mungkin membuat wajah itu kembali ada. Namun hingga sekian menit berlalu, hanya ada seulas senyuman yang begitu akrab. Begitu dekat di depan mata. Senyuman yang sangat ekspresif dan menusuk rasa.
Oh….seulas senyum yang tanpa sadar membuat pandangan semakin kabur. Mulai tersamar segala sesuatu di depan mata yang sebelumnya begitu jelas. Beberapa butir bening zat cair mengalir tanpa bisa dibendung jatuh melintasi relung wajah, menyisir tepian bibir dan berlalu ke dagu hingga berakhir di mana pun tak ada waktu untuk mengendusnya…Seakan hanyut dalam senyuman Sang Perempuan yang begitu menggetarkan. Sejurus kemudian tak ada niat untuk beralih dari situasi ini.
*********
Tak pernah Sang Perempuan itu berkeluh tentang hidup yang kian berat. Tiada kegalauan melintas di wajahnya. Semua baik-baik saja. Seperti tak ada beban yang ditanggungnya walau harus sendirian membesarkan buah hatinya.
Setegar siapa pun dia. Secerdik apa pun semua beban itu dibungkusnya rapih di depan buah hatinya tapi tidaklah demikian setelah tiap senja menggulung benang-benang tenunan yang belum jadi. Dengan bibir kering menahan rasa, terucap untaian “Salam Maria” sambil tangan menggenggam erat manik-manik Rosario. Terus berulang untaian itu diucapkan membentuk “peristiwa-peristiwa” dalam ritual devosional yang telah mendarahdaging baginya. Di depan arca Sang Perawan, semua beban ditumpakan dalam derai air mata tanpa tangisan. Seakan Perempuan itu terus membathin dan mengulangi kata-kata Paulus: “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku (Filipi 4:13)”
**********
Pemuda itu kembali ke kamar dengan hati yang bergetar. Mengunci rapat-rapat pintu kamar. Mengambil secarik kertas dan menuliskan kata-kata ini: “Perempuan yang pernah merelakan rahimnya dan memberikan hidupnya untuk kami, telah menabur tanpa kata. Menabur hanya dengan seulas senyuman agar kami berbuah lebih dari seratus kali lipat”
(Dia mengajar orang banyak dari atas perahu dengan sangat berkuasa, tetapi Perempuan itu mengajak kami berhadapan dengan dunia tanpa kata sambil merajut benang-benang itu menjadi tenunan)
*******(Matius 13:1-9)***********
Romo.Philipus Suharto Wain.Pr
Perempuan Penabur
Reviewed by jmw
on
Thursday, September 05, 2013
Rating:
No comments:
Sopan Santun Anda Sangat Kami Hargai
" Aquila non capit muscas "