Seorang perempuan duduk bersimpuh di depan tungku api yang tengah melahap hampir sebagian besar kuali tanah liat. Di atasnya, beberapa biji jagung lagi dipanaskan. Satu persatu jagung itu diangkat oleh sebelah tangan terlatih dari kuali, mendarat di atas batu lempang yang membujuri lantai tanah dapur. Tangan yang lain mengayunkan batu, dalam satu hentakan memipihkan bulatan jagung. Pipihan jagung – oleh orang sekampung diberi nama “jagung titi ” – kemudian dijatuhkan ke atas wadah yang tepat berada di samping.
Wanita itu sudah lama ada di sana, sebelum seisi rumah terjaga. Duduk sendiri di depan perapian dengan lampu minyak menerangi wajahnya. Seperti halnya perempuan-perempuan lain di kampung ini. Mengejar datangnya matahari, sampai cukup persediaan untuk sarapan membuka hari. Beberapa kali ia mengangkat bahu, mendekatkan wajah dengan gerakan mengusap mata yang belum tersentuh air. Ia seakan menikmati aktivitas subuh ini. Tenggelam dalam ayunan tangan sampai titian terakhir.
Entah untuk berapa kalinya ia kembali memasukan butiran jagung ke dalam kuali. Tak lagi diingatnya. Satu genggaman jagung, sekali lagi dipanaskan. Sebilah kayu bakar dipakainya mengaduk butiran jagung itu. Perempuan ini menanti waktu berikutnya sambil membatin. “Oh seandainya waktu bisa diputar ulang. Tentu tak kubiarkan dia pergi. Juga kami tak kehilangan sandaran ”. Ia lalu menghela napas panjang sambil mendorong kayu yang dilahap api. Sedikit lebih masuk ke dalam tungku. “Tapi apa mesti dikata. Semua telah terjadi. Harus menunggu dua tahun lagi. Waktu yang masih panjang ” , lanjut perempuan ini. Tak lama kemudian butiran itu sudah matang. Sesi berikutnya pun dimulai.
*************
Sebuah truk yang dimodifikasi untuk mengangkut penumpang, sedang melaju. Tidak terlalu cepat, juga tidak lambat. Mendaki tanjakan panjang yang sempit, tinggal beberapa puluh kilo meter lagi menggapai kampung. Melintasi jalan bebatuan. Menembusi gelap di tengah suhu yang dingin. Beberapa penumpang mulai tidak nyaman dengan sesuatu yang menembusi kulit hingga menusuk ke tulang. Duduk dengan tangan kian mempererat pegangan.
Seorang pria dewasa tenggelam dalam lamunan di tengah guncangan truk. Tak punya hati untuk menikmati perjalanan ini, karena pernah menikmatinya. Lebih memilih untuk memburu rindu. Sesuatu yang menikam hingga ke lubuk batin. Terus mengulang padanan kata yang pernah hinggap ke kalbu: " Kau bilang bahwa kau mencintai hujan, tetapi kau buka payungmu saat hujan. Kau bilang bahwa kau mencintai matahari, tapi kau temukan bayanganmu saat matahari bersinar. Kau bilang bahwa kau mencintai angin, tetapi kau tutup jendelamu ketika angin bertiup. Itulah mengapa aku takut, saat kau bilang bahwa kau mencintaiku juga."
Kebeningannya lantas terusik oleh guncangan yang lebih dari sebelumnya. Terkejut dengan benturan keras menimpa lengan penumpang di sisi kanan. Seorang gadis berambut lurus dengan potongan modis – pendek sebatas leher sedang sejumput yang tersisa di depan lebih panjang – hanya tersenyum saat benturan itu berlalu. Dari tadi dia pun tak bergeming. Sesekali tampak kedinginan, tapi tak menggigil. Akhirnya diam itu pun pergi.
“Sudah sering ke sini ya Dek?”, tanya pria itu.
“Oh, nggak Pak, ini baru pertama kali”, jawab gadis itu.
“Sendirian atau bersama teman?”, pria itu sedikit menyelidiki.
“Sendiri”, jawabnya singkat sambil melemparkan pandangan ke depan.
“Maaf ya, kalau boleh tahu, sedang urusan apa Dek?”, pria itu melanjutkan.
“Bertemu seseorang”, kembali singkat tanggapannya.
“Oh…urusan kerja, sekolah atau apa Dek?” seakan pria itu ingin tahu lebih jauh.
Gadis itu sedikit salah tingkah dan berpikir sejenak: “Memburu cinta”.
“O… memburu cinta”, gumam pria itu, lalu terpotong lantaran truk berhenti di sebuah pertigaan. Ada penumpang yang turun. Wanita itu berpindah ke bangku yang kosong. Pria itu tetap di posisinya.
***********
Perempuan tadi masih di dapur, tetap dengan posisi bersimpuh. Menyelesaikan bagian terakhir. Sedikit mengarahkan pandangan ke pintu dapur ketika si “Bimbo” – nama anjing kecil kesayangan anaknya – menyalak. Gonggongannya semakin menjadi. Seakan membuntuti seseorang. Perempuan itu meraih lampu, bergerak ke pintu. “Bimbo…Bimbo” seru wanita itu. “Eh kok tak ada orang” gumam wanita itu dan berbalik. Belum selangkah ia terkejut. Sebuah bayangan berkelebat di kegelapan, dan Bimbo pun kian berani merapat dengan lengkingan tak terhenti. Wanita itu menoleh sambil meninggikan lampu.
Seketika wanita itu kehilangan gerak. Hampir saja tak bisa menguasai diri. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia mengusap matanya berulang-ulang. Sebelum ia sempat berkata-kata: “Aku pulang Ma” ujar pria di depannya dengan tas dipanggul. Wanita itu semakin tak menguasai diri lalu menubruk dada pria itu. “Eh awas lampunya”, pria itu refleks menangkap lampu, sambil tangannya yang lain meraih tubuh wanita itu. Wanita yang dalam pelukannya terisak menahan rasa yang dalam. “Aku tak bisa sampai tiga tahun Ma. Aku lelah menahan semua kerinduan. Hatiku tak tenang di sana dan kuputuskan untuk pulang setelah satu tahun bekerja”, kata pria itu lagi dengan suara bergetar. Wanita itu mendongakkan kepala: “Aku selalu berharap kau mengerti perasaanku Pa. Mendengar setiap kata hatiku, melihat kerinduanku. Aku selalu menahan semuanya, tapi semakin sulit”. Lama mereka berdiri dalam posisi ini. Wanita itu tak peduli lagi dengan tungku api. Ia ingin lebih lama dan tenang di dada itu. Tapi berakhir dengan seruan: “Eh mana anak-anak?” kata pria itu dan wanita itupun menambahkan: “oh..kualinya gosong…”. Keduanya pun serentak tertawa.
***********
“Orang-orang yang saling mengasihi dan memiliki akan punya rasa yang sama. Waktu dan jarak tak akan mementahkan ketajaman hati untuk mendengar dan menyimak setiap peristiwa yang dialami kekasih hatinya”
Maka berbahagialah matamu karena melihat dan telingamu karena mendengar (Matius 13:16)
Keputusan Untuk Kembali
Reviewed by jmw
on
Saturday, September 07, 2013
Rating:
No comments:
Sopan Santun Anda Sangat Kami Hargai
" Aquila non capit muscas "