Matahari senja telah kembali ke paraduannya. Malam hampir menguasai jagad. Aku melangkahkan kakiku ke sebuah rumah kontrakan sederhana. Kesunyian menghiasinya. Tiada suara terdengar dari rumah itu. Aku berseru dari luar pagar yang sudah berkarat : “Opa… opa… aku datang”. Tak lama kemudian seorang laki-laki tua keluar dengan langkah sempoyongan. Ia membawaku ke sebuah kamar yang telah pudar warnanya. Di situlah istrinya terkulai tiada tenaga di lantai. Kepalanya sudah plontos karena penuh dengan luka.
Punggungnya tidak berbentuk lagi karena penuh dengan borok. Belum tahu penyakit apa yang dideritanya. Ia belum pernah dibawa berobat karena keadaan. Ia baru saja dibawa dari Cengkareng tempat anaknya. Opa itu kemudian berkata kepadaku : “Romo, luka yang paling parah di belakang kepalanya”. Aku dengan spontan mengangkat kepalanya. Aku terperanjat karena ada air lengket menempel di telapak tanganku dan aroma bau anyir kurasakan. Itu ternyata nanah yang tak pernah dibersihkan. Mataku terpejam dan perasaanku pun bercampur aduk. Tiba-tiba gambaran “Santo Fransiskus Asisi memeluk penderita kusta” dan “Santo Damian de Veuster SS.CC” memangku penderita lepra terlintas dalam benak. Aku pun merasa bahwa Tuhan Yesus yang menderita nyata di dalam oma itu. Aku berkata dalam hati : “Semoga sentuhanku atas lukanya merupakan pengalaman kasih yang sempat dialaminya kalau ia mesti pergi”. Ia membuka mata dan tersenyum sejenak karena merasakan belaian tangan menyentuh tubuhnya.
Selembar peristiwa itu mengundang air mata. Dunia tampak tak adil. Pedihnya luka bukan karena penderitaan. Penderitaan tidak akan berlalu selama bumi ini masih ada. Penderitaan yang menyakitkan adalah koyaknya kesadaran bahwa telah terjadi penyelewengan terhadap sikap berbelarasa. Sikap “empati” terhadap penderitaan sangat indah di wajah, tetapi bopeng di hati. Berbelarasa terhadap yang menderita gencar diseminarkan di gedung yang nyaman dengan alat pendingin untuk menepis panasnya udara. Gagasan tentang perwujudan berbelarasa didiskusikan selama berhari-hari di Villa sejuk dan mewah di Puncak. Para pembicara dengan gagah dan penampilan trendy tanpa malu menjadi sumber utama, padahal mungkin belum pernah memegang borok penderita.
Ketidakharmonisan sikap dan keadaan karena jiwa dan pikiran tersirap/tersirep falsafah mall dan dunia hiburan. Di dalam mall dan dunia hiburan tabu terhadap tangisan, tetapi yang ada hanya kesenangan. Suara hati pun tuli dan buta terhadap kenyataan. Tuhan Yesus di tahta-Nya tertawa terpingkal-pingkal melihat permainan sandiwara anak-anak-Nya. Tuhan Yesus bergumam : “Haruskah membayar sejumlah besar uang untuk menumbuhkan sikap berbelarasa ?” Akan tetapi, Ia tetap sabar menunggu perubahan hati yang telah ditebusNya.
Tuhan Yesus Kristus adalah Guru dalam membentuk sikap berbelarasa. Ia bukan “Tuan Besar” yang mengajar bagaimana berempati terhadap penderitaan. Ia sendiri berkelana dari kampung ke kampung untuk menyembuhkan segala penyakit dan mengusir roh-roh jahat. Ia mengundang anak-anak-Nya ini untuk datang, melihat, dan berbuat seperti yang Ia lakukan : “Ia berkata kepada mereka: ‘Marilah dan kamu akan melihatnya.’ Merekapun datang dan melihat di mana Ia tinggal, dan hari itu mereka tinggal bersama-sama dengan Dia; waktu itu kira-kira pukul empat” (Yohanes 1:39).
Sangat jelaslah sekarang bahwa datang ke dalam hamparan penderitaan merupakan tempat seminar tentang sikap berbelarasa. Para penderita yang berjuang untuk mempertahankan satu nafas kehidupan adalah para pembicara seminarnya. Sentuhan terhadap luka penderitaan merupakan wujud nyata dari sikap berbelarasa. Jika kita datang, melihat, dan berbuat, jiwa kita akan bergetar menghadapi kepedihan atas derita. Tuhan memberkati.
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC ( katolisitas )
Pedihnya Luka - Sebuah Refleksi Tentang Sikap Berbelarasa
Reviewed by jmw
on
Friday, December 20, 2013
Rating:
No comments:
Sopan Santun Anda Sangat Kami Hargai
" Aquila non capit muscas "