sejarah gereja katolik di indonesia |
Pada permulaan tahun 1866 Mgr. P.M. Vrancken mengirim suatu laporan ke Roma mengenai keadaan gereja di vikariatnya. Ada 8 stasi, tempat tinggal seorang pastur: Batavia, Semarang, Ambarawa, Yogyakarta, Surabaya, Padang, Sungaiselan dan Larantuka. Pada waktu itu penduduk seluruh Indonesia berjumlah 19.000.000 jiwa. Stasi terbesar ialah di Larantuka dengan 11.200 orang Katolik. Stasi ini meliputi Flores, Timor, Adonara, dan beberapa pulau lain disekitarnya. Pastur Larantuka juga masih mengadakan “perjalanan dinas” ke Makasar dan Bima. Sungai Selan merupakan stasi “Cina Kolong” yang bekerja dipertambangan timah Bangka; kebanyakan mereka akhirnya kembali ke tanah leluhur mereka. Sedangkan di stasi lain, unsur Eropa/Indo lebih dominan.
Untuk melayani umat Katolik yang tersebar luas, dibutuhkan 12 pastur, 4 bruder dari Kongregasi Aloysius di Surabaya sejak tahun 1862, dan 30 suster Ursulin yang ada di Jakarta sejak tahun 1856. Akan tetapi, jumlah tersebut sama sekali tidak memadai untuk karya gereja, baik yang pastoral diantara umat Katolik, maupun karya pewartaan Injil diantara orang pribumi.
Gereja Katolik di negeri Belanda ditindas dan menjadi lapangan misi sendiri. Pada tahun 1840 dicabut larangan bagi ordo-ordo untuk menerima anggota baru, dan pada tahun 1853 didirikanlah hirarki dengan 5 uskup. Dari keadaan itu, gereja Katolik di Belanda akhirnya dapat berkembang dengan merdeka dan sedikit demi sedikit mampu menyediakan tenaga-tenaga bagi karya pewartaan injil di luar negeri.
Perhatian pertama gereja pada waktu itu ditujukan pada kawan-kawan seiman, yaitu orang Katolik Eropa dan Indonesia. Karena pegawai dan tentara kerap kali dipindah-pindahkan, maka perawatan rohani yang sedikit kontinyu tak mungkin. Mutu moral di lingkungan KNIL tidak begitu tinggi, dan banyak prajurit dan opsir baru berpikir tentang keselamatan kekal waktu mereka dirawat di salah satu rumah sakit tentara atau waktu akan menjalankan tugas yang amat berbahaya.
Suatu penghalang yang amat besar adalah adanya larangan bagi prajurit-prajurit biasa untuk menikah. Hal ini juga berlaku juga bagi banyak pekerja Belanda dalam berbagai perusahaan dan perkebunan. Bagi para prajurit dan opsir itu lalu disediaan huishoudster atau nyai. Kalau mereka pulang ke Eropa atau pindah jauh, nyai itu kerap kali ditinggalkan dengan anak-anaknya begitu saja. Anak-anak Indonesia diakui oleh ayah mereka dengan demikian menurut hukum mereka termasuk golongan Eropa. Kerap kali permandian dianggap bukti pengakuan. Maka dari itu banyak orang tua walalupun mereka tidak menjalani hidup Katolik, tetapi ingin supaya anak mereka dibabtis. Hal itu mereka lakukan juga untuk harapan bahwa kelak gereja akan memperhatikan nasib anak-anak mereka.
Rumah yatim piatu Katolik pertama didirikan di Semarang tahun 1809, disusul di Jakarta tahun 1856 dan Surabaya tahun 1862. Tahun selanjutnya di Padang, Bogor, Magelang, Malang dan Medium mendapat panti asuhan yang serupa. Panti tersebut dipimpin oleh para bruder atau suster. Para suster inilah yang membimbing anak-anak Indonesia dengan sungguh-sungguh.
Pada tahun 1859 ditandatangani suatu perjanjian antara Portugal dan Belanda. Portugal memberikan haknya atas Larantuka, Sikka, dan Faga di Flores dan atas Adonara dan Solor kepada Hindia Belanda. Pada masa itu umat Katolik sudah ada tetapi masih terlantar. Tahun 1851 untuk terakhir kalinya seorang pastur dari Dilli mengunjungi Larantuka beberapa hari lamanya. Mereka merasa sebagai orang Katolik dan mereka takut kelak akan dipaksa masuk serani muda alias Protestan oleh kompeni.
Usaha yang paling pertama dan mendesak ialah Kekristenan orang Katolik ini. Di Larantuka dan di beberapa tempat sejak zaman dulu ada perkumpulan yang disebut confraria (persaudaraan), Santa perawan Maria, dengan dewa pengurus (Procurador), bendahara (thesoureiro), penulis (escrivao), dan pemimpin kor sekaligus guru agama (mestre).
Salah satu hambatan terbesar bagi karya misi pada waktu itu ialah pribadi raja Don Andre de Vieira Godinho. Ia suka minum candu, memiliki istri empat atau lebih. Situasi berubah pada tahun 1887 ketika Don Lorenzo naik tahta. Mulai kecil ia didik di sekolah misi, dan ketika masih muda dia mengajar agama, mendatangi kampung-kampung orang yang belum Katolik untuk menyiapkan jalan Tuhan. Hambatan lain tidak hanya di Flores tetapi juga di pulau-pulau lain di mana datang dari pihak kolonial. Pejabat-pejabat paling rendah tidak jarang bertindak seperti raja agung. Mereka iri hati terhadap pastur yang menikmati kepercayaan rakyat. Mereka memihak anti Katolik dan sebagainya.
Faktor lain yang menghalangi perkembangan gereja ialah bahwa dalam kurun waktu 9 tahun ada 13 missionaris berganti-ganti melayani umat. Perang antar kampung juga menghambat perkembangan gereja dan karyanya. Menurunnya jumlah anggota gereja bukan karena jumlah orang yang meninggal, tetapi akibat peperangan sehingga orang banyak yang melarikan diri, ladang dan kebun ditinggalkan, pelajaran tidak dapat diberikan secara teratur, kelaparan meraja lela. Orang yang meninggal akibat peperangan tersebut hanya dalam jumlah yang kecil.
Sesudah tahun 1905 Katolik berkembang pesat, baik di kampung-kampung yang sejak dulu sudah mejadi Katolik, maupun di kampung-kampung lain di daerah yang terisolir. Perhatian bagi pewarta Injil meningkat dan seolah-olah lebih rajin dikunjungi. Pada tahun 1909 H.Colijn mengunjungi Flores. Dengan amat terbuka dan objektif ia mendengar segala usul dan keluhan para misionaris. Sesuai inspeksinya, sikap pemerintah daerah terhadap misi membaik.
Pada tahun 1905 Dekrit Paus Pius X, menganjurkan supaya orang Katolik menyambut komuni suci dan sakramen penitensi, mendorong hidup Katolik tetapi sekaligus memperberat tugas para pastur. Pada tahun 1914 Flores dipercayakan Takhta suci kepada para pater Serikat Sabda Ilahi.
Sekitar tahun 1850, di kepulauan Talaud sudah tidak ada lagi orang Kristen. Di pulau-pulau Sangir tetap ada jemaat-jemaat Kristen, lengkap dengan gedung gereja dan sekolahnya. Jemaat-jemaat ini tetap memelihara kerangka kehidupan Kristen. Agama Kristen tidak berhasil meresap dalam kehidupan sehari-hari; agama itu merupakan "agama upacara" karena para penghantar jemaat tidak berpendidikan khusus; kebaktian dijalankan dalam bahasa asing, yakni bahasa Melayu; tidak ada majelis gereja; tidak ada pelayanan Perjamuan Kudus, karena tidak ada anggota sidi; buku Kitab Suci (dalam bahasa Melayu kuno) sudah amat langka, pengajaran agama yang diperoleh di sekolah juga hanya dinikmati oleh segelintir anak-anak. Singkatnya, jenis Kekristenan seperti yang terdapat di jemaat-jemaat VOC yang terlantar itu sangat bertentangan dengan cita-cita yang dikandung oleh para pekabar Injil yang dalam tahun 1850-an datang ke Sangir-Talaud.
Para pendeta dan pekabar Injil yang dari Minahasa melakukan kunjungan ke Sangir-Talaud mendesak agar menangani karya PI di pulau-pulau itu. Selain memiliki lapangan kerja di Maluku, Timor, dan Minahasa, mereka mulai mengutus tenaga ke Jawa Timur tetapi mereka merasa tidak mampu. Maka Panitia Zendeling-tukang merasa terpanggil untuk mengisi lowongan itu. Dalam tahun 1857, sesudah 2 tahun perjalanan, 4 zendeling-tukang mendarat di pulau Sangir, 2 tahun kemudian 4 orang lagi tiba di Talaud. Sesuai dengan asas yang dianut oleh Panitia tersebut, mereka tidak mendapat gaji yang tetap. Namun, pemerintah mengakui jemaat-jemaat di Sangir sebagai jemaat-jemaat VOC, sehingga bersedia menyediakan anggaran untuk para pekerja baru itu. Mereka ini kebanyakan orang Jerman dari kelompok Gossner. Yang menjadi tokoh yang terkenal di antara mereka ialah E. T. Steller, yang selama masa 1857-1897 bekerja di Manganitu, Sangir Besar.
Steller bersama rekan-rekannya segera menjalankan upaya untuk membenahi jemaat. Mereka ingin supaya semua anggota memiliki kesalehan hati dan kesucian hidup. Mereka memberantas kepercayaan takhyul, kebiasaan minum minuman keras dan perkawinan poligami yang banyak terdapat di kalangan orang Kristen. Selain itu, mereka juga secepat mungkin mulai menggunakan bahasa daerah sebagai ganti bahasa Melayu. Beberapa bagian Alkitab mereka terjemahkan ke dalam bahasa daerah (1883, PB dalam logat Siau; 1942, PB dalam bahasa Sangir), begitu pula Katekismus Heidelberg (1871), Perjalanan seorang Musafir karangan J. Bunyan, dan lain-lain.
Di Pulau Bangka, sejak abad ke-18 terdapat tambang-tambang timah. Buruh tambang adalah orang-orang Tionghoa. Pada tahun 1830 di sana menetap seorang dokter dari Tiongkok yang bernama Tsen On Nie (1795-1871). Ia telah di baptis 3 tahun sebelumnya di pulau Penang (Malaysia) dan setelah bekerja di Bangka mulai mengabarkan agama Kristen di tengah kaum buruh Tionghoa. Dokter Tsen On Nie meninggal 14 September 1871, berusia 86 tahun. Dia digantikan oleh pastur baru, yaitu J. De Vries yang tiba di Sungaiselan. Karya Gereja Bangka tidak membawa banyak hasi karena umat yang kebanyakan terdiri dari “Cina Kolong”, buruh pertambangan yang sesudah beberapa tahun kembali ke negeri leluhur. Tahun 1883 seperempat dari jumlah umat meninggal karena wabah beri-beri. Usaha misi untuk mendekati “orang-lom” (yang belum masuk Islam) gagal. Tahun 1888 di Sungaiselan tinggal dua katekis, yang dikunjungi setiap dua kali dalam setahun oleh pastur dari Jakarta sampai Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya dipercayakan kepada para Pater Kapusin.
Pada permulaan 1877 Mgr. Claessens mendengar dari Gubernur Jenderal bahwa residen Timor meminta bantuan misionaris untuk Sumba. Karena kekurangan tenaga dan karena meletusnya peperangan antara raja-raja di Sumba, maka tahun 1885 pater H. Leemker mengunjungi beberapa tempat di Sumba Timur, di mana sebelumnya zendeling Van Alphen bekerja tiga tahun lamanya tanpa hasil sedikit pun.
Hari Paskah 1889 pater B. Schweits dan bruder G. Busch menetap di Laora. Raja Umbu Kaondi yang kelihatannya sangat simpatik memberi izin agar anak-anak boleh dipermandikan. Tetapi ini dilakukan dengan agak naif dan tergesa-gesa, dan berharap bahwa anak-anak tersebut nanti bisa dididik dengan baik. Sampai akhir tahun 1889, pastur Schweitz membaptis sejumlah 758 anak kecil. Setelah itu tidak ada lagi orang yang meminta anaknya untuk dibaptis. Banyak hambatan yang dihadapi: poligami, terutama di kalangan pemuka rakyat; perbudakan; keserakahan (kedua kuda pasturan dicuri).
Pada tahun 1898, pastur membuka sekolah putri di tempat yang terpencil itu. Baru beberapa minggu berselang sudah ada 19 siswi dan di antara mereka 5 anak raja dan 3 calon menantu raja. Dan di sekolah tersebut sangat membutuhkan suster, namun sedikit kemungkinan karena keadaannya kurang mendukung. Akhirnya pimpinan misi di Jawa beranggapan bahwa di Sumba tidak ada keseimbangan antara ongkos finansial dan jumlah tenaga di satu pihak, hasil dan harapan di lain pihak. Maka tahun 1898 Laora ditinggalkan.
Selama dua tahun, antara Oktober 1885-September 1887 dicoba karya misi di Kendari. Kontak pertama dengan suku Tokea dari pedalaman berjalan tidak lancar, terutama ketika wabah cacar merajelela dan mereka tidak berani turun ke pantai. Pukulan terakhir datang ketika asisten-residen Benscbach datang ke Kendari dan menganjurkan kepada penduduk setempat supaya mereka membangaun sebuah masjid, tepat berhadapan dengan pasturan.
Di Makasar, Ujungpandang sekarang, pada akhir tahun 1892 ada seorang pastur yang menetap. Jumlah umatnya tak pernah melebihi 250 jiwa.
Misi di Minahasa, Sulawesi Utara. Tahun 1853 pastur De Hessele mengadakan turne di daerah itu selama empat bulan. Ia bertemu dengan kira-kira 120 orang Katolik, Belanda, Indonesia, tetapi kebanyakan orang Filipina. Pada akhir 1861 pastur Sanders dari Larantuka mengunjungi Banda, Ambon, Ternate, dan Manado.
Kontak Gereja yang pertama dengan orang asli Minahasa terjadi di Pulau Jawa. Tahun 1851 di Surabaya ada 10 prajurit dan 9 wanita Minahasa masuk Gereja Katolik. Tahun 1861 di Semarang 43 tentara. Antara 1859-1861 di Ambarawa 56 tentara. Setelah mereka dipensiunkan, kebanyakan pulang ke kampung halamannya. Misalnya, Daniel Mandagi, orang Minahasa Katolik pertama, yang pada tahun 1868 mengirim surat kepada Mgr. Vrancken memohon supaya seorang imam datang ke Minahasa dan untuk memenuhi permohonan tersebut pastur J. De Vries SJ diutus. Selama kunjungan di Minahasa pastur de Vries membaptis 254 orang, yang hanya sebagian dari keluarga Kristen-Protestan.
Dalam tahun-tahun selanjutnya Gereja Katolik mengalami banyak rintangan. Karena “situasi khas” Minahasa, yang oleh residen Jellesma disebut “negara Protestan”, maka bertahun-tahun lamanya Mgr. Luyen tidak boleh berkeliling menerimakan sakramen krisma dan para suster YMY tidak boleh membuka sekolah.
Tahun 1886 Manado menjadi stasi tetap dengan B. Mutsaers SJ sebagai pastur pertama. Perhatiannya yang pertama ialah memperdalam pengetahuan agama para guru dan katekis supaya jemaat-jemaat dan sekolah-sekolah terjamin mutunya. Untuk itu pastur A. Van Velsen (dikemudian hari menjabat Vikaris Apostolik Jakarta) membuka suatu ‘sekolah guru berkeliling’. Praktek sekolah: kalau pastur berada di pasturan Tomohon – stasi kedua di Minahasa – pada sore hari para calon guru diberi pelajaran. Tujuannya, sehabis Misa, pengakuan, permandian, pelajaran agama bagi umat, pastur mengajar siswa-siswanya. Ijazah bagi para calon guru merupakan soal. Tahun 1904, 25 calon pertama kursus ini menempuh ujian dan lulus semua. Pada tanggal 19 November 1919 didirikan Prefektur Apostolik Sulawesi yang dipercayakan kepada para Pater MSC. Waktu itu di Ujungpandang ada sekitar 500 orang Katolik, sedangkan di Minahasa lebih dari 10.000 orang.
Sesudah Jakarta, Semarang, dan Surabaya, Padang menjadi stasi keempat di Indonesia. Sejak tahun 1837 hampir selalu ada seorang pastur menetap di kota itu. Wilayah Parokinya meliputi seluruh pulau Sumatera. Pada tahun 1871 jemaat Padang terdiri dari sekitar 600 orang militer dan 400 orang sipil. Dari jumlah itu hanya 60 yang menerima komuni Paskah. Sembilan Suster Belaskasihan tiba di Padang pada tahun 1885. Mereka membuka taman kanak-kanak, sekolah “pertama” yang netral di mana murid-murid membayar uang sekolah, dan sekolah “kedua” yang hanya untuk anak-anak Katolik yang orang tuanya tidak mampu.
Padang juga menjadi stasi pertama dari pastur H.C. Verbraak SJ. Medan menjadi stasi pada tahun 1878. Pastur pertama, C. Wenneker berkeliling menemui 106 orang Eropa, 24 orang Tionghoa, dan 106 orang Keliling Katolik yang asli India Selatan dan berbahasa Tamil. Pastur ini lebih mengarahkan perhatian kepada orang Batak. Ketika usianya mencapai 75 tahun dan bekerja di paroki di Jakarta, dia masih memberikan pelajaran agama kepada orang Batak yang merantau ke ibukota. Tetapi karena berbagai sebab, stasi Medan tidak bisa berkembang baik.
Sesudah diadakan beberapa kali perjalanan untuk menyelidiki situasi dan mengunjungi orang Katolik – Belanda dan Tionghoa – yang tersebar luas, maka didirikan stasi Singkawang dengan W.J. Staal sebagai gembala umat. Kemudian pastur ini menjadi Yesuit pertama yang menjabat sebagai Vikaris Apostolik, 1893-1897. Seluruh Kalimantan Barat dan Belitung ada antara 500-600 orang Katolik. Bedanya dengan Bangka ialah bahwa di Kalimantan Barat orang-orang Tionghoa menetap dan banyak yang hidup dengan bercocok tanam.
Pastur H. Looymans dipilih untuk mulai misi baru. Ia menetap di Sejiram pada sungai Sebruang, daerah yang membiakkan babi dan kambing, membuka hutan, menanam pohon kopi. Ia mencoba mendapat kepercayaan mereka dan mengikat mereka kepada daerah tertentu sehingga tidak berpindah-pindah. Ia juga memperhatikan generasi muda.
Pada tanggal 1 Juli 1888 pastur J. Kusters dan J. Booms tiba di Tual, kepulauan Kei, atas undangan seorang pengusaha Jerman. Pada awalnya kerasulan di sana amat sulit. Hampir tidak ada kontak dengan kampung-kampung dekat Tual yang sudah masuk Islam. Perubahan yang tak disangka-sangka terjadi pada tanggal 19 Juli 1889, ketika pastur Kusters untuk kedua kalinya mengunjungi Langgur, sebuah kampung seberang Tual. Pada waktu itu Langgur ditimpa wabah sakit panas. Dengan pengobatannya pastur berhasil mengatasi wabah dan hati penduduk mulai terbuka bagi pekabaran Injil, terutama anak-anak yang mengikuti pelajaran. Pada tanggal 4 Agustus 1889 sepuluh anak yang paling rajin dipermandikan dalam upacara agung yang amat mengesan kepada seluruh Langgur. Dan gereja besar pun dibangun, kapel-kapel didirikan di beberapa kampung. Sebuah sekolah dibuka di Kolseer dengan seorang guru dari Minahasa. Tahun 1905 para Suster Fransiskanes datang untuk pendidikan putri dan karya medis. Tahun 1890 orang Katolik bertambah yang tadinya 38 menjadi 743 sampai tahun 1900. Tahun 1904 misi muda ini deserahkan kepada para pater MSC.
Perintis jalan di lain pulau Indonesia Timur ialah pater C. Le Cocq d’Armandville, pada hari terakhir tahun 1891 tiba di Seram untuk menjajaki kemungkinan karya misi. Iklimnya berat, pendudunya langka, saran perhubungannya hampir tidak ada. Jadi, tantangannya cukup berat di daerah itu. Di kepulauan Watubela yang dikunjunginya bulan Mei 1893 harapannya lebih baik, tetapi para penduduk diteror oleh raja setempat dan tidak bergaul lagi dengan pastur.
Tanggal 22 Mei 1894 pastur Le Cocq mendarat di Kapaur, di Teluk Berau. Penduduk yang sedikit, tetapi menerima pastur dengan ramah-tamah. Pada saat itu ia tinggal hanya selama sepuluh hari bersama mereka dan berjanji akan datang kembali. Tanggal 1 Mei 1895 ia datang lagi, disertai dua bruder. Tetapi ketika pater Keijser, superior Yesuit, mengunjungi Irian, pater Le Cocq kesehatannya terganggu sehingga disuruh berobat ke Jawa. Dia bertolak dari Kapaur tanggal 5 Maret 1896 untuk tidak kembali lagi. Pada saat perjalannya tersebut, pastur Le Cocq tenggelam di daerah Kapia, tetapi ada indikasi kuat bahwa ia ditenggelamkan dengan sengaja oleh awak kapal. Kematian yang tragis merupakan akhir sementara bagi karya Gereja Katolik di Irian, karena Bomfia dan Watubela sudah ditinggalkan sebelumnya. Sesudah pastur Le Cocq meninggal diterbitkan beberapa daftar kata bahasa Seram, Bomfia, dan Kapaur yang telah disusunnya.
Sepertiga abad sesudah Mgr. P. M. Vrancken menyusun laporannya, dalam tahun 1899 di seluruh Indonesia ada 47.732 orang Katolik. Yang bekerja di kebun anggur Tuhan masih satu imam sekulir, Maria Josef Claessens, kemenakan Mgr. A. Claessens yang menjabat Vikaris Apostolik dari tahun 1874 sampai tahun 1893. Pastur M. J. Claessens datang ke Indonesia pada tahun 1877, sebagai iman paraja yang terakhir. Di Bogor, ia mendirikan rumah yatim piatu putra Santo Vinsensius. Tahun 1907, ia kembali ke Belanda dan masih bertahun-tahun lamanya bersusah payah bagi misi yang dicintainya sampai dia meninggal.
Dari Serikat Yesus ada 50 imam dan 15 bruder di Indonesia (satu bruder Jawa, yang lain di Flores, Timor, dan Langgur). 85 Suster Ursulin, 33 Suster Fransiskanes, dan 15 Suster Belaskasih mengajar di sekolah-sekolah Jakarta, Surabaya, Semarang, Padang, Larantuka, dan Lela. 30 Bapak guru dan 18 Ibu guru ikut mengajar di sekolah-sekolah misi, antara lain di 18 sekolah di Minahasa dengan 29 Bapak guru. 11 Bruder S. Aloysius mengajar di 2 sekolah di Surabaya. Jumlah murid pada waktu itu 4.867 (1.422 di asrama).
Tahun 1885-1890 disadari bahwa Serikat Yesus sendirian tidak sanggup lagi menangani segala karya misi di Nusantara, karena pada tahun 1889-1891 ada 16 imam baru datang sedangkan tenaga kerja sangat dibutuhkan bagi pekerjaan orang Indonesia dan di paroki-paroki Belanda. Tahun 1887-1889 9 imam meninggal dunia pada usia muda. Pada akhir tahun 1890an stasi-stasi seperti Laora di Sumba, Tanjung Sakti, Sungaiselan, Singkawang, Sejiram ditinggalkan dan hanya dikunjungi paa perjalanan dinas. Usaha perintisan Le Cocq di Irian tidak dilanjutkan.
Di Negeri Belanda akhir abad ke-19 jumlah biarawan-biarawati semakin bertambah dibandingkan 50 tahun sebelumnya. Yang lebih menarik perhatian ialah ada banyak kongregasi bruder dan suster yang abad ke-19 didirikan di Belanda, contohnya: MSC, SJC, MSF berasal dari Perancis, SVD dari Jerman dan berkembang di negeri penampung.
Karena sifat yang internasional, para misionaris Belanda juga lebih internasional di dalam medan kerjanya. Dari 3.571 misionaris imam yang berasal dari Belanda antara 1810-1940, ada 800 orang yang mengrasul di Indonesia, sedangkan yang lain disebar ke segala penjuru dunia.
Melalui perundingan yang lama antara instansi di Roma, Jakarta, dan Belanda, tahun 1913 baru dikukuhkan suatu peraturan lanjutan yaitu Nadere Regeling yang berisikan para Vikaris Apostolik yang baru diakui oleh pemerintah sebagai kepala gereja di masing-masing wilayah mereka. Hasil dari peraturan lanjutan sangat signifikan karena seorang pastur bisa bekerja dengan jemaat yang sudah kuat imannya untuk melakukan penginjilan kepada orang yang belum beragama.
Pertumbuhan ini ditunjukan oleh hasil statistik misi Katolik di Indonesia tahun 1928-1942 yang setiap tahunnya diterbitkan buku alamat. Sejak tahun 1932 diolah oleh Centraal Missie Bureau dengan judul “Jaarboek 1932” dan seterusnya. Untuk membandingkan dengan hasil sebelumnya maka dibuatlah statistik tahun 1928 dan 1941. Dilihat dari statistik ini terjadi pertambahan orang Katolik (totok dan indo) dengan cepat.
Pada tahun 1928 ada 250 imam, 206 bruder dan 870 suster di 10 vikariat dan prefektur. Hal ini bertambah banyak pada tahun 1941 yang juga melihatkan orang pribumi. Pada tahun ini ada 565 imam (16 pribumi), 510 bruder (60 pribumi) dan 1.933 suster (206 pribumi). Kemajuan ini masih dtambah oleh para biarawati yang bekerja di sekolah-sekolah 1.248 orang dan juga 3.417 bapak/ibu guru. Jumlah sekolah dari segala macam tarekat biarawan-biarawan itu ada 1.868 dengan 170.033 murid.
Pada akhir kolonial di Jawa, terdapat sekitar 80% orang Katolik dari Eropa dan kurang dari 10% Katolik pribumi. Pertumbuhan ini terutama disebabkan oleh banyaknya orang Katolik Belanda yang datang ke Indonesia pada sekitar tahun 1900 untuk menjadi guru, pegawai, karyawan bank, perusahaan, perkebunan dll. Dengan pelayanan yang intensif, mutu dari Katolik juga bertambah. Dan hasilnya didirikanlah berbagi organisasi seperti “Katholieke Sociale Bond” (1913) atas inisiatif awam yang terlibat dalam gereja bersama dengan pastur J.J. van Rijckevorsel SJ yang bekerja di jakarta tahun 1909-1925. Cabang dari organisasi ini juga didirikan di Yogyakarta, Bogor, Malang, Medan, Surabaya dan Semarang. Dari KSB ini selanjutnya banyak organisasi yang muncul dari muda-mudi, guru dan sebagainya yang didirikan oleh pastur van Rijckevorsel seperti KJB, KMB, KOB.
KSB-KSB menjalankan beberapa aktivitas yang beraneka warna, seperti di Jakarta ada panitia wisma tentara Katolik, biro informasi dan pertolongan bagi para misionaris di luar Jawa; Stud-club untuk persoalan sosial dan sebagainya. Banyak dari KSB yang terjun pada dunia politik. Di bawah ini adalah berbagai karya yang dihasilkan oleh perkembangan Katolik tahun 1900-194
Sejarah Gereja Katolik Di Indonesia
Reviewed by jmw
on
Thursday, January 02, 2014
Rating:
terima kasih atas artikelnya. perlu di koreksi sedikit tetang kalimat .....Sepertiga abad sesudah Mgr. P. M. Vrancken menyusun laporannya, dalam tahun 1899....., Mgr. P.M.Vrancken meninggal pada tgl 17 Agustus 1874.
ReplyDelete