DPM - Memang ada beberapa teori tentang asal mula Natal dan Tahun Baru. Menurut Catholic Encyclopedia, pesta Natal pertama kali di sebut dalam “Depositio Martyrum” dalam Roman Chronograph 354 [edisi Valentini-Zucchetti (Vatican City, 1942) 2:17). Dan karena Depositio Martyrum ditulis sekitar tahun 336, maka disimpulkan bahwa perayaan Natal dimulai sekitar pertengahan abad ke-4. Kita juga tidak tahu secara persis tanggal kelahiran Kristus, yang diperkirakan sekitar 8-6 BC. Namun menurut St. Yohanes Krisostomus, Natal memang jatuh pada tanggal 25 Desember, dengan perhitungan kelahiran Yohanes Pembaptis. Karena Zakaria, ayah Yohanes Pembaptis, adalah imam agung yang memimpin ibadah pada hari Atonement yang jatuh pada tanggal 24 September (pada saat ia menerima kabar dari malaikat bahwa istrinya Elisabet akan mengandung). Yohanes Pembaptis lahir 9 bulan sesudahnya, yaitu tanggal 24 Juni; dan Kristus lahir enam bulan setelahnya, yaitu tanggal 25 Desember (sumber: New Catholic Encyclopedia, Vol. 3: Can-Col, 2nd ed. (Gale Cengage, 2002), p.655-656).
Ada juga sejumlah orang yang meyakini bahwa kelahiran Kristus jatuh pada tanggal 25 Desember, berdasarkan tanggal winter solstice (25 Desember dalam kalendar Julian), karena pada tanggal tersebut, matahari mulai kembali ke utara. Mereka kemudian menghubungkan tanggal tersebut dengan kebiasaan kaum kafir /pagan berpesta “dies natalis Solis Invicti” (perayaan dewa Matahari). Pada tahun 274, Kaisar Aurelian menyatakan bahwa dewa matahari adalah pelindung kerajaan Roma, yang dirayakan setiap tanggal 25 Desember. Hal serupa juga berlaku untuk tahun baru, yang dikatakan berasal dari kebiasaan suku Babilonia. Namun sejujurnya, semua itu merupakan spekulasi.
Pertanyaannya, anggaplah bahwa data tersebut di atas adalah benar, dan pesta Natal diambil dari kebiasaan kaum kafir, apakah kita sebagai orang Kristen boleh merayakannya? Jawabannya YA, dengan beberapa alasan:
Dari alasan inkulturasi. Kita tidak harus menghapus semua hal di dalam sejarah atau kebiasaan tertentu di dalam kebudayaan tertentu, sejauh itu tidak bertentangan dengan ajaran dan doktrin Gereja dan juga membantu manusia untuk lebih dapat menerima Kekristenan. Essensi dari perayaan Natal ini adalah kita ingin memperingati kelahiran Yesus Kristus, yang menunjukkan misteri inkarnasi. Dan karena Yesus adalah terang dunia (Lih Yoh 8:12; Yoh 9:5), adalah sangat wajar untuk mengganti penyembahan kepada dewa matahari dengan Allah Putera, Yesus, Sang Terang Dunia. Dan karena Yesus adalah “awal dan akhir” dan datang “untuk membuat semuanya baru” (Why 21:5-6), maka tahun kelahiran Kristus diperhitungkan sebagai tahun 1. Dengan ini, maka orang-orang yang tadinya merayakan dewa matahari, setelah menjadi Kristen, mereka merayakan Tuhan yang benar, yaitu Yesus. Dan orang-orang tersebut akan dengan mudah menerima Kekristenan dan sebaliknya Gereja juga tidak mengorbankan nilai-nilai Kekristenan.
Namun di satu sisi, Gereja tidak pernah berkompromi terhadap hari Tuhan, yang kita peringati sebagai hari Minggu. Di sini Gereja mengetahui secara persis, bahwa kematian Tuhan Yesus di kayu salib jatuh pada hari Jumat dan kebangkitannya adalah hari Minggu. Pada masa gereja awal, ada yang memaksakan untuk mengadakan hari Tuhan pada hari Sabat (mulai hari Jumat sore sampai Sabtu malam). Namun beberapa Santo di abad awal mempertahankan bahwa hari Tuhan harus hari Minggu dengan alasan: 1) Yesus bangkit pada hari Minggu, 2) Yesus memperbaharui hukum dalam Perjanjian Baru dengan hukum yang baru. Dengan dasar inilah Gereja berkeras untuk mempertahankan hari Minggu sebagai hari Tuhan. Namun dalam kasus perayaan Natal, tidak ada yang tahu secara persis hari kelahiran Tuhan Yesus.
Kalau kita amati, manusia dalam relung hatinya, mempunyai keinginan untuk menemukan Penciptanya. Penyembahan kepada dewa matahari adalah merupakan perwujudan bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi daripada manusia, dalam hal itu adalah matahari, yang dipandang dapat memberikan kehidupan bagi mahluk hidup pada waktu itu. Namun sesuai dengan prinsip “grace perfects nature atau rahmat menyempurnakan sifat alamiah” (lihat St. Thomas Aquinas, ST, I, Q.1, A.8.), maka tidak ada salahnya untuk mengadopsi tanggal yang sama, dengan menyempurnakan konsep yang salah sehingga menjadi benar, dalam hal ini penyembahan terhadap dewa terang/matahari dialihkan penyembahan kepada Yesus, Sang Sumber Terang. Kalau kita perhatikan, tanggal 1 Mei adalah hari buruh sedunia (Labour day) yang disponsori kaum komunis, namun Gereja memperingati hari tersebut sebagai hari St. Yosef pekerja (ditetapkan oleh Paus Pius XII, tahun 1955). Gereja ingin menunjukkan kepada dunia, bahwa St. Yosef seharusnya menjadi figur bagi para buruh, di mana dengan mencontoh figur St. Yosep, maka dunia dapat dibangun dengan lebih adil. Juga permulaan tahun baru, Gereja menjadikan hari tersebut perayaan “Maria, bunda Allah”.
Adalah baik untuk mempunyai tanggal tertentu (dalam hal ini 25 Desember untuk perayaan Natal), yang setiap tahun diulang tanpa henti sampai pada akhir dunia. Tanggal ini senantiasa akan mengingatkan kita akan kelahiran Yesus Kristus. Kalau kita mengadakan angket di seluruh dunia, dengan pertanyaan, “Kita memperingati apakah pada tanggal 25 Desember?” saya yakin bahwa hampir semua jawaban akan mengatakan “Natal, atau kelahiran Kristus” dan bukan merayakan dewa matahari.
Untuk umat Katolik, dengan masa Adven, Gereja menginginkan agar seluruh umat Katolik mempersiapkan diri untuk menyambut datangnya Sang Raja. Dari sini kita melihat bahwa Gereja justru menyuruh umat-Nya untuk berpartisipasi dalam persiapan Natal, yang jatuh tanggal 25 Desember.(katolisitas)
Darimanakah asalnya perayaan hari Natal?
Reviewed by jmw
on
Sunday, December 15, 2013
Rating:
No comments:
Sopan Santun Anda Sangat Kami Hargai
" Aquila non capit muscas "